Selasa, 05 Januari 2010

Haji

Joni Ariadinata
Pikiran Rakyat 02/17/2007

Karena bukan cerita fiksi, maka tidak mungkin Haji Jupri kawin dengan Marsiti. Tapi entah kenapa, kisah ini kemudian berkembang menjadi ruwet. Bahkan, menjadi bahan perdebatan tak habis-habis di warung-warung, tegalan, pasar, hingga masjid. Mulanya sih hanya iseng. Suatu hari Pak Haji tanya pada Kang Sirin, “Apa kamu punya bibit yang bagus, Rin?” katanya. Tentu, Pak Haji memang paling akrab dengan Kang Sirin. Bukan hanya karena Kang Sirin adalah langganan becaknya selama bertahun-tahun, tapi karena ketulusan dan keriangan Kang Sirin yang membuat Pak Haji betah.

“Kebetulan punya, Pak Haji. Betul lho, yang ini pasti sip. Saya bisa mintakan fotonya.”

Pak Haji tertawa. Nah, dari sinilah keruwetan cerita sebenarnya sedang dimulai.

Kang Sirin telah hampir sepuluh tahun berkeliling di atas becaknya. Mengantar para langganan, terutama para pedagang di Pasar Kecamatan. Seperti halnya Pak Haji, para langganan rata-rata betah ngomong-ngomong dengan Kang Sirin. Mungkin lantaran ia gesit, atau Kang Sirin memang selalu berpakaian bersih, gampang disuruh, ataukah sifat Kang Sirin yang (meskipun tak lulus SD, tak bisa baca huruf latin) tapi selalu dengan wajah riang bisa mengimbangi omongan apa pun. Nah, tentu, dari berbagai “pengetahuan” omong-omong beragam langganan itulah, maka sumber informasi Kang Sirin semakin beragam dan berkembang. Kalau tidak percaya, cobalah datang ke Pasar Kecamatan. Jika ada tukang becak dengan pakaian bersih, yang hapal nyaris seluruh gang di delapan desa, bahkan hapal hampir seluruh nama (mungkin watak orang-orangnya) maka itulah Kang Sirin!

Nah, tiga minggu berselang itulah, ia mendapat langganan baru, yang membuatnya nyambung dengan maksud Pak Haji. Langganan baru itu bernama Marsiti. Tinggal di Desa S., dan konon dia adalah pindahan dari Kota B. Lha kok ya kebetulan, Marsiti juga ngomong hal yang sama. Ia ingat persis ketika itu Marsiti juga bergurau, “Kang Rin, mungkin enak ya kalau punya suami haji?”

“Yang bener, Mbak Mar. Apa Mbak Mar belum punya suami?”

“Ah, siapa yang mau bersuamikan aku, Kang?”

“Lho, Mbak Mar itu cantik kok,” Kang Sirin tertawa. “Maksud saya, ada yang top lho. Tapi duda.”

“Siapa?”

“Haji Jupri.”

“Haji Jupri yang terkenal itu? Wah, ya jangan. Ada-ada saja.”

“Eh, siapa tahu jodoh. Omong-omong, kenapa Mbak Mar cari yang haji?”

“Entahlah. Kang Sirin ini, aku cuma guyon. Awas lho kalo bilang-bilang. ?Kan malu.”

“Ya enggak lah. Dijamin pokoknya. Tapi omong-omong, apa Mbak Mar serius nih?”

“Nggak. Cuma guyon, bercanda! Sungguh.”

Tapi siapa ngira, dari semula cuma bercanda, akhirnya berkembang menjadi rumit? Ini lantaran Kang Sirin merasa nyambung. Merasa klop. Saat Pak Haji bilang tentang bibit, mengeluh tentang perempuan, maka ia langsung bertindak dengan gesit. Nyamperin Marsiti, ngasih penjelasan ini-itu, lalu pinjem fotonya yang paling bagus. Marsiti memang cantik. Tentu saja semula Marsiti menolak, “Apa Pak Haji tahu tentang saya? Saya takut, Kang Sirin. Sungguh.”

“Pokoknya beres. Saya nanti yang akan meyakinkan Pak Haji. Dia orangnya baik. Pokoknya tidak bakal ngecewakan. Sudahlah Mbak Mar. Percaya sama saya,” dengan gayanya yang yakin Kang Sirin setengah memaksa. Tapi siapa sih, perempuan yang menolak usul buat dilamar Pak Haji? Satu hal, Pak Haji Jupri adalah orang terkaya di Desa L., hal lain tentu saja ia duda, terkenal pengajiannya ke mana-mana, dan dikenal berwajah ganteng. Meskipun tentu saja ia sudah sepuh, sudah tua dengan banyak cucu. Tapi kalau kebetulan jodoh, apa mau dikata?

“Jadi, betul Pak Haji tahu tentang saya, Kang Sirin?”

“Beres. Pokoknya biar saya yang jelaskan.”

Kang Sirin percaya. Marsiti pasti baik. Ia tak perlu menyelidikinya lebih jauh. Yang jelas ia cukup cantik, sopan, dan tidak kikir. Amat pas jika nyambung dengan Pak Haji. Lalu kenapa Marsiti takut? Ah, Kang Sirin hanya tertawa. Pastilah semua wanita akan segan dengan Pak Haji. Makanya Marsiti takut.
***

Lalu kenapa akhir kisah yang sesungguhnya cantik dan mulia ini menjadi rumit? Ini dimulai oleh satu lemparan batu pada kap becak Kang Sirin. Betul-betul satu batu, yang melayang, dan hampir membentur kepala Kang Sirin. Kalau saja ia tidak bernasib baik, entah bagaimana nasib Kang Sirin selanjutnya. Persoalannya bukan batu yang melayang, tapi kenapa tiba-tiba ada orang yang melemparkannya, dan itu dilakukan dengan terang-terangan? Di depan pasar, di mana banyak orang yang menyaksikan!

Desas-desus perjuangan Kang Sirin membuat banyak orang menjadi marah. Kang Sirin baru tahu bahwa tidak setiap kebaikan dibalas dengan hal-hal baik. Kebaikan Kang Sirin, dan ketulusannya berjuang untuk menyambungkan Pak Haji, ternyata berbalik menjadi kengerian. Bisa dibayangkan, jika tiba-tiba saja banyak langganan yang cemberut lalu cabut pindah becak lain. Bukankah itu mengerikan? Kang Sirin seumur-umur tidak pernah diperlakukan orang seperti menghadapi barang najis. Kenapa bisa Kang Sirin menyimpulkan bahwa dirinya dianggap najis? Karena orang yang pertama kali melempar batu itu bilang, “Kamu anjing!”

“Menjijikkan!”

“Kafir!”

Anjing? Menjijikkan? Kafir…. Benar-benar mengerikan. Dan orang-orang memang benar-benar memandang jijik. Kang Sirin tetap tak bisa menyimpulkan. Berhari-hari ia cuma melongo. Akhirnya tak berani keluar rumah. Tak berani narik becak. Bahkan, selentingan ia mendengar, orang-orang bakal mengepung rumah Kang Sirin. Subhanallah.

Apa dosa Sirin?

Padahal, tadinya ia cuma mau nolong. Kasihan Pak Haji. Semenjak ditinggal mati istri, ia jadi sepi. Bukankah menolong itu, kata orang tua, juga pekerjaan mulia? Dan kalau yang ditolong itu lantas memberi rezeki, jangan ditolak. “Menolak rezeki itu ndak baik, Rin,” begitu kata kakeknya dulu.

Kang Sirin menganggap Pak Haji orang susah. Sungguh, ia sering mendengar sendiri kesusahan Pak Haji. Setiap kali mengantar sehabis jualan di pasar, ia bilang, “Susahnya kalau orang sudah terlanjur dihormati, Rin. Mau minta tolong carikan istri, bilang ini dan itu, rasanya risih. Jangan-jangan malah dianggap lucu. Disangkanya kalau sudah haji, jadi imam di masjid, diundang ke sana ke mari, sudah sempurna begitu? Aku ini ya laki-laki normal lho Rin…. (Jangan bilang-bilang ya? Nanti dikiranya ndak tabah, repot jadinya). Dipikir-pikir, kok ya mendingan kamu lho Rin. Bebas cari-cari informasi, tanya-tanya, ke sana ke mari, ndak mungkin ada orang cerewet. Anak-anak lagi, sudah gede, sudah pada berumah tangga, kok ya maunya menangan terus. Ada yang bilang malu, ngisin-ngisini, malah yang bungsu bilangnya ndak jelas. Macem-macem lah Rin!”

Sudah jelas ?kan? Kalau orang semacam Kang Sirin saja tiba-tiba bisa jadi tumpuan keluhan Pak Haji, bukankah itu satu anugrah? Sedang Pak Haji orang yang paling terhormat. Amat mulia jika Kang Sirin bisa menolong. “Kang Sirin” lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal orang sebagai ustaz. Nah, karena Kang Sirin tahu dan akrab dengan Marsiti, lalu memandang Marsiti itu baik, apa salahnya menawarkan Marsiti? Toh, kalau Pak Haji tidak mau ya tidak apa-apa. Kang Sirin tidak akan maksa. Edan po? Kang Sirin kok bisa memaksa Pak Haji. Jelas ndak mungkin. Tapi kini, Kang Sirin merasa dipentung kiri kanan.

“Aneh ya Pak Haji itu. Minta tolong malah sama tukang becak. Lantas, kita-kita yang pinter ini dianggap apa? Coba kalau terus-terang sama kita, bisa rame-rame ?kan dicarikan yang bagus, yang pantas. Bukan Marsiti.”

“Melihatnya saja sudah muntah.”

“Sirin saja yang goblok. Sudah enggak bisa baca, kere, eeee mau macem-macem. Kafir!”

“Betul Wak, harus dikasih pelajaran. Wong gendeng, orang gila, mudah-mudahan disamber gledek.”

“Ialah Gusti Allah ngasih cobaan sama Pak Haji. Padahal, apa sih kurang baiknya Pak Haji? Kok sama Sirin saja ketipu.”

“Ini pasti ada dalangnya. Ndak mungkin kalau hanya inisiatif Sirin. Aku menduga kalau ndak kelompok haji mbelgedes Kampung Ciparay ya pasti kelompok Jamaah Pangoragan yang zikirnya jingkrak-jingkrak itu. Mereka sengaja membuat jebakan untuk menjatuhkan kewibawaan Pak Haji. Pokoknya hal ini harus diselidiki hingga tuntas. Aku ndak terima Kampung kita dipermalukan.”

“Kuncinya ya Sirin itu.”

“Digebuk saja. Sekalian beres. Kepalang tanggung!”
***

“Orangnya cantik ?kan, Pak Haji? Kulitnya putih. Tidak gemuk tidak kurus. Orangnya ramah, juga sopan.”

“Punya anak tidak Rin?”

“Tidak Pak Haji. Suaminya dulu meninggal muda. Pokoknya sip Pak Haji, orangnya juga baik.”

“Syukurlah kalau tidak punya anak. Itu yang diharapkan. Sedikit berumur tak apa. Yang penting rumah ada yang ngurus. Tidak terlalu repot kalau habis jualan di pasar. Tapi, o ya, kira-kira apa dia mau dikerudung?”

“Mungkin mau Pak Haji. Dia juga salat kok.”

Kang Sirin mesam-mesem ketika diselipi uang lima puluh ribu. Tak baik menolak rezeki meskipun besar. Hanya ditemani Pak Kadir, kerabat jauh Pak Haji yang amat dipercaya, mereka bertiga berangkat melamar. Tak perlu ribut-ribut. Dan pada hari berikutnya, Kang Sirin ikut jadi saksi. Seumur-umur jadi manusia, pada kali itulah Kang Sirin bisa merasa jadi orang penting.

Daldiri, anak Pak Haji paling bungsu yang masih SMA, malah menolak ketika diajak:

“Mau ikut ke Sindang tidak Ri?”

“Wah, besok ulangan je, Pak!” Daldiri sama sekali tak terpikir kalau hari itu bapaknya kawin. Biasanya, paling banter hanya mengisi pengajian. Sehari setelahnya, ketika Pak Haji tiba-tiba membungkusi pakaian, barulah Daldiri heran sembari tanya, “Mau ke mana sih Pak?”

“Kemarin kamu diajak tidak mau. Bapak sudah kawin, Le.”

Kawin? Itulah yang membikin Daldiri blingsatan, geger. Dalam situasi gawat semacam itu, Daldiri lari ke sana ke mari. Tilpun ke sana ke mari. Lapor pada ketiga kakaknya: Magelang, Solo, dan Temanggung. Jam tiga dini hari, mereka semua berdatangan dan langsung menuju Sindang. Pengantin lelaki diculik! Tanpa ampun. Digeret. Dipaksa untuk ikut. Di Pesantren Bambu Kuning Temanggung, anak-anak langsung mengepung dan menginterogasi. Menyemburkan seluruh kekecewaan, penyesalan, dan keberatan-keberatan yang tak boleh dibantah!

“Yang betul saja tho Le kalau njemput itu. Bikin geger dan kecewa.”

“Justru Bapak itulah yang gak bener. Sudah tua kok ya kurang waskita. Kurang pertimbangan. Asal tangkap tanpa perundingan. Mbok ya ngasih kabar atau gimana, apa sih susahnya? Begini-begini juga anakmu itu dihargai, dihormati. Coba kalau kedengaran santri-santriku di pesantren ini, apa ya ndak memalukan? Bikin lebih geger? Pokoknya tidak ada alasan, detik ini juga harus dicerai! Saya carikan yang bagus. Yang pantas. Yang iman. Kawin kok sama lonte.”

Jangankan Pak Haji, Kang Sirin saja yang jadi pusat cerita tidak tahu kalau Marsiti itu bekas lonte. Ia kenal dan akrab sama Marsiti karena juga langganan becak. Malah kalau dihitung-hitung, ya Marsiti itulah langganan luar kampungnya yang paling jauh. Makanya kalau banyak orang memaki, Kang Sirin sesungguhnya ndak terima. Demi Allah Kang Sirin tidak bermaksud menjerumuskan Pak Haji. Kang Sirin saja barangkali, jika ketemu Marsiti sekarang, kepingin rasanya meludah. Memaki-maki Marsiti dengan kata-kata setan dan najis seperti yang diucapkan orang-orang. Tapi entah bagaimana alur dan konflik ceritanya, akhir-akhirnya Kang Sirin kok yang malah jadi suka sama Marsiti.
***

Konon, menurut data-data yang bisa ditelusuri, Kang Sirin memang bukan tipe orang cerdas. Pada suatu hari Kang Sirin ketemu Marsiti berwajah pucat, berbadan kurus, dan selalu batuk-batuk. Betul-betul amat berubah, sehingga membuat Kang Sirin pangling. Tapi begitu yakin bahwa itu Marsiti, sontak ia ingin meludah. Memaki Marsiti dengan kata-kata “kamu anjing” seperti yang hingga sekarang diucapkan orang-orang pada dirinya. Bahkan ingin Kang Sirin menggampar muka Marsiti dengan batu.

Tapi Marsiti malah belum-belum sudah nangis. Entah rayuan gombal, entah elusan iblis, yang jelas iman Kang Sirin bergetar. Ia tiba-tiba menjadi iba. “Kang Sirin”‘ lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal sebagai ustaz. Bukan lagi makhluk berwujud Kang Sirin kalau melihat adegan yang begitu dramatis itu tidak langsung jadi tragis. Tiba-tiba ia ingin ikut menangis. Dan sejak pertemuan itulah hati Kang Sirin selalu berdesir dan berpikir. Barangkali inilah yang disebut cinta? Entahlah. Yang jelas semua orang semakin jijik jika bertemu Kang Sirin. Semua orang berpikir, kok masih ada orang bebal yang oleh Tuhan dibiarkan hidup? Sudah jelas ditipu, masih sempat-sempatnya berpikir menolong.

“Apakah kalau lonte tobat, tidak boleh kawin?” begitu kata Marsiti. “Bukan berarti setiap lonte tobat itu selalu naik pangkat menjadi germo. Sudah lima tahun Siti berhenti jualan daging begituan. Karena tobat itu bisa tenang kalau Siti kawin, maka Siti kepingin kawin. Siti emoh kawin sama gento. Kawin juga harus dengan orang baik, biar Siti ikut baik. Sukur kalau suami Siti bisa ngaji, biar Siti bisa belajar ngaji. Makanya…,” Marsiti berhenti. Menyusut air mata, “Datangnya tawaran Pak Haji ibarat laron ketemu petromaks. Siti mengira itulah jawaban dari doa-doa tahajud Siti yang tak pernah berhenti untuk meminta. Meminta jadi orang baik. Meminta jodoh yang baik. Siti tak nyangka kalau ternyata akibatnya bisa dikutuk, dipisuh, disebut setan. Dulu banyak orang yang masih memaklumi Siti. Tapi kini….”

Kini Kang Sirin yang bengong. Kini Kang Sirin jadi punya pikiran sakit karena dirinya juga disebut setan. Kalau setan memang harus ketemu setan, mau apa lagi? Jelas setan yang satu ini butuh pertolongan.

“Jadi Mbak Siti ingin bisa mengaji? Dulu Kakek Kang Sirin juga mengajar ngaji. Dan Kang Sirin belajar mengaji di tempat Kakek. Kang Sirin bisa baca Alquran. Itu semua yang diajarkan Kakek Kang Sirin. Kini Kakek Kang Sirin sudah meninggal dunia. Jadi….” Jadi beruntunglah Kang Sirin dulu punya kakek dengan ilmu-ilmu yang baik. Beruntunglah Kang Sirin menjadi santri yang mengerti.

Bayangkan, jika Kakek Sirin dulu sekolah, mungkin sudah dikenal jadi orang pandai. Pandai mengajar, jadi kiai atau setidaknya guru. Jika Kakek Sirin dulu kaya, mungkin sudah jadi haji. Karena haji, maka Kakek Sirin yang jadi imam di mesjid. Seperti Haji Jupri.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar