Selasa, 05 Januari 2010

Beringin Cinta

Joni Ariadinata
Batam Pos 09/07/2003

Langit menepi. Malam pasti basah. Suara sirine melengking dalam jauh: lamat, dan menyakitkan. Irene memindahkan chanel televisi, berisik, berpindah-pindah; lalu ia matikan. Klik. Sepi. Beranjak ke kamar, melihat kaca: tak ada senyum. Bunga kacapiring di luar jendela bergoyang-goyang. Malam pasti basah. Malam pasti…“Irene. Irene. Irene…”

Fajar merekah. Dia tak datang. Malam gelap selalu tempatnya rindu. Tapi pagi keburu datang: matahari terang tak ada hujan. Telepon di kamar Irene berdering nyaring. “Angkat Irene! Pagi belum hilang alatmu sudah berisik. Bangun, Cah Ayu!” Suara Mama menggedok pintu. Dok-dok, dok-dok. Trilili. Gadis manis terbang merajuk. Jendela terbuka blak-blak kreot dan Mang Udin tersenyum di bawah menyiram bunga. “Pagi Nona!” lugu. “Pagi,” sewotlah ia. Kring-kring telepon kembali berdering, lari, disaut Nona seenak hati: “Eh lu! Entar datang kagak? Hua-ha-ha. Jam sembilan yo? Di kantin. He’em! Yap. Sip. Sip. Gua belon mandiiii.”

“Bibiiiik,” renyah Irene memanggil di kamar mandi. Bik Zubaldah berlari zig-zag meletak sapu: “Ada apa Non?”

“Handuuuuk!”

Geleng-geleng. Bunga kacapiring digoyang Udin. Sisa bunga kemarin layu dan jatuh. Ada suara Parta memanaskan mobil. Berita televisi nyaring melengking di ruang tengah. Mama teriak. Bik Zubaldah mencuci, menakar rinso. Dan angin mendesau debu di luar jauh. Kabel-kabel listrik. Jalanan ramai sedari subuh. Tak pernah teduh.

“Mamaaah, Irene pergiii. Kuliah!”
***

“Di Florida, kampusnya sama. Ada banyak pohon, tapi bukan beringin, ha-ha! Di bawahnya, tentu, di bawah pohon saat istirahat, banyak mahasiswa berkumpul, baca buku dan diskusi. Di sini, juga sama. Ha-ha. Di bawah pohon, mahasiswa ngumpul-bergerumbul untuk ngibul dan main gaple! He-he…” Nyengingis. Segerombol orang nyekakak: “Apa lu pernah ke Florida? Mahasiswa kok rajin amat, pake baca buku di bawah pohon.”

“Nggak. Itu kata Taufiq Ismail di televisi.”

“Djancuk! Suka-suka dia lah. He, lu lihat Aida kemarin kan? Asu. Ujian baca puisi di kelas pake nungging segala. Jelas, mata Pak Dorbi tak bisa dikibulin. Pasti nilainya bagus. Alamat buruk dah. Siangnya, benar saja dugaanku: dia minta cerai! Putus. Gila. Lu dulu yang ngotot mau sama Aida kan? Ambil dah sekarang. Buntingin aja sekalian. Gua udah bosen. Sumpah!”

Bibit Gondrong penjual es dan kacang ikut nyekakak: aneh? Tidak. Beringin di tengah kampus tempat jualan paling betah; dan siapa nyana. Bibit Gondrong sepuluh tahun ngendon di tempat ini —nyaman tentu saja—; di seberang dua kantin yang makin rame. Bergaul dengan mahasiswa sastra: bangga kenal seniman top yang juga dosen bernama Pak Saudi. Sesekali ikut bikin puisi jelek, biar gaul. He-he. Maklum nyampur mahluk-mahluk aneh yang kadangkala suka nyumpah-nyumpah dosen, maka “jual kacang pun perlu strategi”. Sedikit nyentrik lah, biar akur. Sengaja rambut dibikin gondrong meskipun tetap rapi, sebab siapa tahu ada mahasiswi sastra yang tertarik lalu kawin lalu mau membantu jualan kacang di sini. Bukankah itu nyentrik? He-he. Makanya, Bibit Gondrong tak perlu rikuh untuk sekedar ikut nyekakak. Apalagi topiknya lucu. Biar ikut-ikutan dibilang nyentrik: laris, akrab merasa ikut top. Toh tetap saja tak ada apa-apanya dibanding mereka. Lihat saja: ada yang bangga celananya tak pernah dicuci dua tahun (he?), ada yang laki-laki gondrong tak perlu keramas, ada yang ngaku penyair maka jarang kuliah celana robek-robek jaket bau tak pernah bawa buku, ada cewek-cewek sukanya mamerin celana dalam belakang lalu… ada yang bunting dan tetap saja bunting tak mau kawin. Lengkap. Kayaknya, dunia memang makin asyik dan ribut. Amit-amit.

Burung pipit jatuh, plak! ditembak Amin Wangsitalaja, tersenyum bangga seperti jagoan (zaman model apa lagi ya Tuhanku yang lugu, ada mahasiswa ke kampus membawa senapan angin?). Angin menyiut dari arah perpustakaan, nun, duapuluh meter di atas puncak hampir menyentuh langit —sehingga orang dengan enggan menyebutnya “atas angin”—; dengan 257 trap tangga berkelok-kelok melewati tingkatan-tingkatan tempat terpenting semacam: (1) gedung bazar pakaian import dan alat kecantikan serta sedikit ramuan tradisional kejantanan Cina, yang dipadu dengan 8 meja biliard, mutlak milik saham para guru yang dipimpin langsung Bapak Rektor Sebagai Pembina; (2) klinik kesehatan serta kamar penerangan KB, poster-poster HIV terbalik, dan alat peraga berupa contoh-contoh kelamin sehat; (3) bersebelahan dengan klinik, adalah Cafe Mahasiswa Abadi Sukses Mandiri (CMASM), tentu, tanggal 27 Juli kemarin cafĂ© legendaris itu dianggap sukses lantaran berhasil mengundang Inul lengkap beserta Orkes Dangdut Jonita pimpinan Haji Joni; kemudian (nomor 4) setingkat di atasnya adalah deretan kakus, melulu kakus: ada kakus mahasiswa, kakus dosen, kakus pegawai, tukang sapu, sampai satpam dan petugas parkir. Tentu bau tai. Nah, (nomor 5, tingkat gedung paling tinggi) persis di atas gedung kakus itulah letaknya perpustakaan, “Perpustakaan Atas Angin”, tak ada penghuninya, kecuali 2 petugas sial yang sudah peot ditimbun buku-buku yang seluruhnya rusak parah disantap tikus. Tak ada mahasiswa baca buku. Gedung perpustakaan itu lebih mirip tempat setan.

Angin aroma tai yang bertiup dari WC, menghembus pohon beringin, dan pipit kecil mati ditembak Amin Wangsitalaja. Tak ada belas kasihan. Anak-anak masih terus-terusan ketawa. Hidup untuk ketawa. Bunyi tulalat-tulalit SMS. Cup-cup mmmuuuah! Sinar matahari yang payah, debu-debu, kantin yang makin ramai.

Kantinku, kantinmu, kantin kita. Dikelola guru. Depan kampus, persis setelah pintu gerbang seperti lazimnya kantin-kantin di seluruh kampus seantero negeri yang kayaknya mewajibkan mahasiswanya makan sebelum masuk gedung belajar. Mungkin takut kalau mahasiswanya kelaparan ketika belajar sehingga mengganggu kecerdasan. “Makan sebelum belajar adalah baik,” begitu kata guru setiap memulai pelajaran kuliah. Tentu. Dan selayaknya pasar makan yang bermartabat, debat-debat penting sering terjadi di sana: lebih ribut dan agresif dibanding ruang belajar. Wow! Sambil ketawa. Tak harus ada logika. Terus ketawa. Perempuan lelaki, berkeciplak mulut ngomongin pantat mobil kek, atau apalah: handphone, sepatu, parfum ketek, susu susi, dlsb, dlsb, huuuah.

Angin tai masih terasa. Matahari payah nyenggol sedan jeep kijang-krista dan van KIA dari korea. Petugas parkir ngantuk setelah nyedot Dji Sam Soe. Pipit mati diinjak Bardi lantaran kesusu ngejar Intan Dewi Permadi yang lari lantaran marah lantaran malam tadi Bardi lupa nyium padahal Intan Dewi Permadi sudah minta dua kali padahal hari ini ada ulangan. “Heeei pacar!! Tungguuu… Akulah Bardi lelaki yang selalu hadir dalam mimpimu. Aku tulis seribu puisi dalam terik matahari! Dan bulan yang menghirup rindu dalam titik kebekuan batu. Aku cinta padamuuu…” Penyair! Penyair! Orang-orang bertepuk. Bardi terus berlari, merasa hebat seperti penyair. Pacar dipanggil tak peduli, ia ngebut naik krista terbaru. Mungkin berniat bunuh diri. Debu-debu mengepul. Mahasiswa lagi bersorak: Penyair! Penyair! Angin tai, dan matahari payah, ruang kuliah nun jauh di sana. Satmoko terlalu banyak merokok dan meludah. Ada Marno merobek kertas ulangan. Para guru sibuk mengajarkan sesuatu di kelas: entah puisi entah teori, yang jelas para guru sudah menghafalkannya sejak dua puluh tahun lalu.
***

Lelap malam lampu-lampu di jalan. Kota tak juga sunyi. Irene tiba disambut gonggong Doli. Seharian entah, pergi kuliah mampir ke Ratna. Jam dua belas. Di kantin ketemu Dodi. Masuk ruang belajar bersama Dodi. Kencan jam tiga, jam tujuh menyusur pantai. Jam delapan makan di kafe, ikutan nyanyi tralala-trilili. Beli kaos kaki, tisue, dan memilih CD. Lalu keliling, mampir lagi di Ratna. Tengah malam Ratna cuap-cuap, katanya Martin payah, tahu ultah makan malam hanya di loby Sahid.

Ia tanya apakah Irene telat haid? Menggeleng.

Malam basah Irene pulang. Mama tidur Parto membuka gerbang dengan mata rapat. Sunyi di kamar. Melempar diktat, nyetel televisi. Ingat Ratna ia buka celana. Kring-kring tilpun, tulalat-tulalit SMS. Jam tiga. Besok pagi jam sembilan ada kuliah. “Oke, oke. Kita ketemu seperti biasa. Cup-cup.” Ia harus tidur. Tidur untuk membuang umur.

Yogyakarta, 14 Agustus 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar