Selasa, 05 Januari 2010

Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri?

Joni Ariadinata
Lampung Post 04/03/2002

Segelas racun babi mengepul di atas meja. Asap kretek melenggok dari mulut menuju petromaks, membentuk gulungan hening. Abah Marta merapatkan handuk dari sergapan dingin di leher dengan gigi gemerotak. Di balik jaket berkaos tebal tersembunyi dada kering kerempeng mengatur desahan napas. Tersengal-sengal karena penyakit asma. Terengah-engah menimbulkan bunyi mirip pompa air mekanik. Mencengik. Mata keriputnya memicing, menatap Wardoyo menantunya yang tengah mempermainkan asap. Ragu-ragu. Berganti-ganti dengan fokus gelas racun menantang di meja. Suara dengkuran menembus gorden pintu di belakangnya; kamar Ambu Marsinah tidur. Ada kemerosak angin. Ada kemerosak bambu-bambu bergesekan di luar.

“Mulailah.” Wardoyo berkata pendek. Menghisap asap kretek ke dadanya dalam-dalam. Ada ketegangan merayap. Ada kegamangan mengalir. Abah Marta sekali lagi menatap wajah menantunya. Kepala Wardoyo mengangguk. Setengah dipaksa setengah putus asa, tangan Abah Marta maju meraih gelas. Racun hangat, manis bercampur kopi, mengepul hangat dalam genggaman. Gemetar. Bibir tuanya gagal tersenyum. Tak tega mata Wardoyo melambungkan ke langit-langit, melihat dua ekor cecak berkejaran. Menunggu.

“Pahit!” Abah Marta menghentakkan cangkir. Mengusap bibirnya cepat. Kemudian meludah, getir. Setengah menit belralu, ia terhenyak. Wajahnya pucat. Panas merajam-rajam perutnya tanpa ampun. Menyeruak ke atas, membetot-betot usus. Lehernya tercekik: “Wardoyyy…” ia berteriak parau. Tubuhnya lantas menggeblag jatuh. Sebelum kakinya menyepak meja dan kursi yang ia duduki terbalik. Suaranya gaduh. Abah Marta berkelojot-kelojot sekarat. Matanya membeliak. Kemudian sunyi. Mati.
***

BERPULUH tahun Rantawi didera penyakit menakutkan. Jika hawa malam berubah dingin, maka sesuatu menggodam dadanya telak. Gumpal kedua belah paru-parunya terasa terhimpit beban berton-ton dan mencekik saluran udara menuju arah kerongkongan. Di saat itulah dunia bagi Eantawi amat gelap dan sumpek. Satu-satu helaan napas ia keluarkan dengan susah payah, menimbulkan bunyi cengik yang menjijikkan; bahkan bagi telinganya sendiri. Barangkali jika bukan karena Ratri, anak perempuan satu-satunya yang mengeluh putus asa, ia tak akan setega ini: membunuh diri dengan segelas kopi bercampur racun babi. Memang Rantawi dengan kehidupannya telah hancur luluh: dua hektare sawah, setengah bahu perkebungan kopi, satu pabrik penggilingan padi telah lepas satu persatu dari tangannya untuk pengobatan tanpa hasil. Tapi melintas pikiran untuk bunuh diri, tak pernah sedikit pun terjangkau. Terlebih karena Rantawi selalu menyimpan ketahanan iman dengan tak pernah lekang berdoa. Berharap satu kemukjizatanakan datang pada suatu ketika.

Tapi malam ini, Tuhan telah berlaku sangat tidak adil. Rantawi gamang atas kemauan Tuhan pada dirinya. Keluarga Mayor Sulaiman mendadak memutuskan pertunangan sepihak bagi anaknya, Ratri. Tentu, adalah pukulan batin teramat hebat karena mereka justru menyalahkan penyakit yang Rantawi derita sebagai alasan pokok. Asma disamaratakan dengan sejenis lepra! Mereka menuntut dikembalikannya harta panjer yang diserahkan melalui upacara sukacita.”Mereka takut Ratri hanya akan menghancurkan karier dan masa depan Kang Basuki,” begitu kata Ratri.Dengan tangisan tersedak-sedak. “Seperti Bapak. Karena asma adalah penyakit keturunan.” “Begitu yakin, apa mereka sudah memeriksamu?” “Mereka menolak. Juga Kang Basuki,”Ratri putus asa. Tiga hari kemudian tak bisa ditanya. Ia hanya mengurung diri dalam kamar. Rantawi marah. Amat marah. Sungguh nasib telah memain-mainkannya seperti potongan gabus dalam amukan air deras. Tapi penegasan Keluarga Sulaiman memang beralasan. Satu-satunya yang patut dipersalahkan pasti hanyalah Tuhan. Begitulah ketika tangannya mantap menuangkan racun. “Kini, tak mungkin ada lagi pemuda yang mau mendekati Ratri, Ayah!” Rantawi memandang meja tertegun-tegun. Sejentik kegamangan menggelepar, tapi gumpal dendam menyumbatnya cepat. Irama jantung berlomba dengan kesunyian.Ya, ya, tidak akan ada pemuda yang mau menyunting ratri selama ia ada — begitu barangjali keinginan Ratri. Entah karena keturunan, entah karena beban bahwa kenyataan Rantawi tak akan bisa lagi hidup tanpa sebuah gantungan. Diseretnya langkah menuju kamar Ratri. Anak itu tertidur dengan badan melungkar, penuh beban. Manik-manik keringat bermunculan pada leher dan ujung kening; ia hampiri kemudian mengusapnya lembut. Seekor nyamuk yang hinggap di betis dijentiknya hati-hati. Dirapatkannya selimut, kemudian keluar. Kekosongan menyergap ketika air mata dari sudut matanya jatuh. Segelas racun babi yang terdiam di meja. Rantawi melangkah ke kamar Ijah, isterinya. Ijah dengan gurat ketuaan yang makin kentara. Tersenyum dalam ketenangan mata terpejam. Begitu tabah. Bertahun-tahun wanita di hadapannya harus bekerja sendiri menggarap sawah yang masih tersisa. Rantawi tak sanggup lagi berpikir dan merasa. Langkahnya mantap. Meraup gelas. Menenggaknya dalam satu tarikan napas… Putus asa. Gendang telinganya menangkap jerit tangis meneluwung tak bertepi. Badannya terguncang-guncang. Suara-suara teriakan, derit roda, suara-suara sepatu. Kemudian sepi. Senyap. Di manakah? Mungkinkah Tuhan…

Satu kejaiban terjadi: ia menangkap mata Ratri, mata isterinya, mata Basuki. Kemudian badannya melambung ingin meraup. Sebuah tangan kokoh menahannya.Rantawi harus beristirahat, lamat-lamat katanya. Aneh, ia merasa betapa dadanya teramat lapang. Napasnya longgar tak tersumbat bunyi cengik menjijikkan. Kepala dan tubuhnya ringan. “Dua hari engkau pingsan,” begitu kata pertama ia dengar. Suara isterinya. Betulkah ia masih hidup? Rantawi ingin berteriak, “Kenapa aku di sini? Betulkah kamu Ijah? Di manakah aku?”"Asmamu kumat,” isterinya menjelaskan. “Aku membawamu ke rumah sakit. Sudahlah Kang, istirahat yang tenang. Kata dokter, asmamu kemungkinan besar sembuh. Entah kenapa.” Tuhan maha adil, begitulah ketika Rantawi tersungkur dalam sujud. Mohon ampun dan penyesalan atas sangka buruk. Tiga hari setelah berbaring di Rumah Sakit dan dinyatakan sembuh total. Empat ekor kambing disembelih sebagai rasa syukur, dan seluruh kampung turut menikmatinya. Juga tentu, Basuki. Keluarga Mayor Sulaiman telah datang turut mengucapkan gembira dan minta maaf. Tuhan maha besar.
***

SEHARI setelah syukuran, Wardoyo ditangkap. Berita menjalar cepat dari mulut ke mulut. Wardoyo membunuh Abah Marta dengan secangkir kopi dan racun babi! Pembunuhan amat keji, begitu komentar mereka. Mayat Abah Marta ditemukan membiru. Visum menyebutkan ususnya hancur membusuk. Orang-orang kampung mengutuk Wardoyo. Melemparinya dengan batu: “Kafir! Mertuamu sendiri tega kau bunuh, heh?” ramai berteriak. Riuh menggelandang Wardoyo, “Kau bunuh atas dasar apa, Wardoyo?” “Rantawi. Demi Allah, Mang Rantawi yang menyuruhku…” Rantawi terbadai. Rantawi hanya bisa mematung, tak mampu berbuat apa-apa. Teror datang menyerganya begitu tiba-tiba. Sungguh ia begitu menyesal, amat menyesal telah menceritakan seluruh rahasia kesembuhannya pada Wardoyo, adik iparnya. “Racun babi,” begitu ia menceritakan dengan mantap: “Entahlah. Segala obat telah diupayakan; tapi justru racun babi yang membikin aku sembuh. Heh, bukankah mertuamu menderita asma sepertiku?” “Bagaimana kalau ia mati?” “Tuhan telah menunjukkan sebuah keajaiban. Bahkan di dalam racun babi, bisa terdapat obat. Obat mujarab. Masih tidak percayakah kamu, Wardoyo?” Dan kini ia sangsi. Diam-diam Rantawi merasa, ia ikut bandil besar dalam pembunuhan Abah. Berhari-hari Rantawi tak sudi makan. Sampai ketika polisi datang menjemputnya untuk ditanyai: “Demi Allah, saya tidak berkomplot untuk membunuhnya!” katanya.Keras. Dan tubuh Rantawi digelandang hina. Riuh hantaman puluhan caci; orang-orang kampung bergimbung. Menuding berteriak. Kelebat bayangan Ratri ambruk. Lalu Ijah? Bergetar. Keringat dingin memercik. Gusti Allah… bayangan yang buruk. Ia seperti melihat betapa Tuhan kini tengah bergitung; menjawab tantangannya ketika ia memilih mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak diperhitungkan? Dan kini Rantawi dipaksa menggigil, tersentak berteriak: “Alangkah lebih terhormat mati ketimbang terhina di penjara…”

Bandung, 1993

2 komentar:

  1. hhmmm... ceritanya bagus, tentang sudut pandang kematian...

    BalasHapus
  2. bang joni..
    domisili dimana skrg?masih d jogjakah?

    BalasHapus