Selasa, 05 Januari 2010

Horison Sastra Indonesia

Joni Ariadinata *
infoanda.com/KoranTempo

Kalau Beni R. Budiman (Koran Tempo, 16/2) mengawali tulisannya dengan kalimat pembuka yang berisi pernyataan (pengakuan?) sebuah “kebingungan”, maka itu pantas baginya. Sebuah antologi besar semacam Horison Sastra Indonesia (HSI), memang tidak bisa disikapi secara serampangan, apalagi dengan nawaitu kecurigaan yang besar. Kapasitas Beni R. Budiman bisa diukur lewat tulisannya di harian ini, juga di Media Indonesia (10/2) yang kurang lebih sama.

Sebuah antologi semacam ini memang tak bisa dipisahkan dari tabiat antologi sejenis. Ia akan senantiasa diperbaiki dan diperbaiki lagi. Ini pun terlihat dari HSI. Bermula dari sebuah antologi tebal satu jilid dengan judul Dari Fansuri ke Handayani (DFkH), segera ia diubah menjadi empat jilid tebal HSI. Sastrawan yang belum termuat dalam DFkH, kini termuat dalam HSI. Sebaliknya, beberapa nama yang sebelumnya ada dalam DFkH kini justru menghilang dari HSI.

Selepas peluncuran HSI, berbagai tanggapan bermunculan. Ada yang memuji, ada yang gembira, dan ada yang protes. Yang memuji tak perlu disebut namanya, dan tak perlu dibesar-besarkan meski jumlahnya banyak. Yang gembira, tentu saja guru-guru sastra dan para siswa di seluruh Indonesia. Bayangkan, di tengah kelangkaan bahan bacaan sastra, tiba-tiba mereka mendapat 4 jilid HSI dan sejilid Horison Sastra Pelajar. Bentangan sastra Indonesia, secara relatif –sekali lagi, relatif–lengkap bisa mereka baca dari HSI.

Namun, tentu saja, tak ada gading yang tak retak. Jika tak retak, tentu bukan gading (mungkin plastik?). Nah, retak-retak yang terdapat dalam gading HSI memancing protes dari beberapa kalangan. Jika dirumuskan, ada tiga kalangan yang terlibat dalam peristiwa ini. Pertama, mereka yang karyanya memenuhi kriteria dan patut masuk dalam HSI, namun menolak. Kedua, mereka yang karyanya dilihat dari kualitas dan kesastrawanannya sama sekali tidak layak masuk HSI. Ketiga, mereka yang karyanya memenuhi kriteria dan patut masuk dalam HIS, namun tidak dimasukkan karena khilaf.

Protes yang pertama muncul di media massa adalah protes mengenai kategori pertama, sebagaimana dilansir Gatra, dengan tajuk yang khas, “Antologi Para Wasit”. Satu halaman majalah Gatra digunakan untuk mempermasalahkan mengapa Sitor, misalnya, tidak masuk, dan mengapa para editor masuk. Berita mengenai peluncuran HSI diisi oleh wawancara dengan Beni R. Budiman nun jauh dari Bandung sana sehingga judulnya serupa itu.

Dalam tulisan ini, protes dari mereka yang mempermasalahkan mengapa sastrawan yang masuk kriteria namun menolak dimasukkan dalam antologi tidak akan dibicarakan. Menerima dan menolak dimasukkan dalam antologi adalah masalah pribadi. Menolak atau menerima ajakan menyediakan bacaan bagi anak sekolah, juga hak pribadi. Kita semua, saya kira, harus menghormati keputusan ini, apa pun alasannya.

Membicarakan alasan penolakan pun tidak banyak membantu, karena menolak adalah menolak. Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari tidak setuju dengan ideologi editor, tidak suka dengan gaya berpakaian editor, meragukan kredibilitas editor, hingga menolak memasukkan karya karena didesak keluarga, misalnya.

Protes kategori kedua, yakni dari kalangan yang tidak masuk antologi karena memang tidak layak masuk, ditunjukkan oleh tulisan Beni R. Budiman (BRB) yang muncul di Media Indonesia, kemudian tulisan yang sama dengan beberapa perubahan kecil itu dimuat di Koran Tempo pula. Protes semacam ini juga tidak akan dibahas di sini. Wajarlah seseorang meradang-menerjang karena karyanya dianggap tidak layak. Lagi pula, untuk membayangkan mutunya sebagai sastrawan, pembaca bisa langsung menilai mutu tulisannya di koran ini dan terutama di Media Indonesia yang salah data di hampir semua hal kecuali satu: menulis namanya sendiri.

Untuk mencegah timbulnya dugaan yang tidak-tidak, saya perlihatkan beberapa contoh kesalahan fatal dalam dua tulisannya sekaligus. Pertama, BRB memprotes mengapa Ike Soepomo masuk, sedangkan penulis sejenis tidak; padahal nama Ike Soepomo jelas-jelas tidak ada dalam HSI, tapi adanya di DFkH. Kedua, dia memprotes antologi yang berisi cuplikan (fragmen) novel, lalu bertanya: apa bedanya dengan mewabahnya ringkasan novel di sekolah-sekolah. Jelas, bahwa fragmen tidak sama dengan ringkasan.

Ketiga, dia memprotes mengapa para editor masuk antologi HSI, sambil menyebut antologi yang editornya tidak masuk seperti antologi susunan H.B. Jassin, Angkatan 2000 (Korrie Layun Rampan), dan Laut Biru Langit Biru (Ajip Rosidi). Jelas, H.B. Jassin tidak memasukkan karyanya karena dia bukan sastrawan. Begitu juga dengan Korrie Layun Rampan. Sebagai pengarang yang “bukan angkatan 2000″, dia tidak mungkin memasukkan karyanya dalam antologi Angkatan 2000 (apa pun makna angkatan 2000 itu), sebagaimana Korrie tidak memasukkan karyanya dalam antologi sastra perempuan yang dieditorinya karena dia bukan perempuan.

Atau juga sebagaimana Sinansari ecip tidak memasukkan suratnya dalam kumpulan Surat Anak Indonesia kepada Presiden Soeharto, karena beliau bukan anak-anak. Sementara itu, baik Ajip Rosidi maupun Linus, jelas akan memasukkan karyanya dalam antologi yang mereka susun, karena mereka berdua adalah sastrawan yang tidak mungkin lagi dipertanyakan kualitasnya. Jika diperpanjang, makin banyak kesalahan dan kekumuhan di dalamnya, tapi cukuplah sekian dulu.

Protes dari kategori ketiga, terutama diwakili oleh Sinansari ecip di Koran Tempo, yang intinya menggugat mengapa sastrawan Sinansari ecip tidak masuk HSI. Mengingat antologi seperti HSI sejauh ini belum ada di Indonesia, bisa dibayangkan kekecewaan sastrawan ecip yang, dalam banyak hal, karyanya jelas masuk kriteria tapi tidak masuk karena kekhilafan editor.

Pertama kali mengetahui hal ini, semua editor kecewa dan menyesal. Mungkin dengan rasa kecewa dan sesal yang lebih besar dari Sinansari ecip sendiri. Sebab, masuk atau tidak dalam HIS, Sinansari ecip tetap sastrawan, tapi tidak masuknya beliau dalam HSI membuat HSI jadi sedikit kurang lengkap. Kurang afdol. Situasi ini, saya kira, tidak bisa diselesaikan dengan polemik, melainkan harus diselesaikan dengan koreksi. Tidak masuk akal untuk menarik ulang seluruh HSI, membongkarnya untuk memasukkan nama Sinansari ecip ke dalamnya.

Lebih masuk akal mencatat namanya, dan nama sastrawan-sastrawan lain yang senasib dengan beliau, guna edisi perbaikan yang akan datang. Sebagaimana dikemukakan di muka, adalah tabiat antologi sejenis ini untuk senantiasa dikoreksi dan dikoreksi kembali. Apalagi, judul antologi itu adalah Horison Sastra Indonesia, dan diterbitkan oleh majalah sastra yang namanya Horison pula.

Ketika DFkH terbit, kami lihat horizon itu menjauh. Tidak tergapai tangan. Diperbaiki dengan HSI, ternyata kaki langit itu menjauh pula. Tidak terbayangkan antologi sebesar ini akan langsung sempurna. Meski demikian, tidak benar juga bahwa antologi itu langsung tidak berharga karena satu-dua nama terlewatkan. Beratus nama sastrawan minus beberapa tentunya masih bisa dianggap tegak. Dengan hasil semacam itu, saya kira tidak patut para editor untuk berkecil hati, apalagi merasa puas.

Jelas bahwa Sinansaari ecip semestinya masuk namun tidak tercantum. Jelas juga bahwa tidak mungkin membongkar HSI untuk memasukkannya. Jadi, semakin terang bukan, bahwa semua persoalan yang muncul dalam polemik mengenai HSI sudah bisa dikatakan selesai. Selanjutnya saya kira kita bisa segera memulai polemik pada tahapan baru yang lebih substansial dan lebih kritis, baik khusus mengenai HIS maupun menimbang kembali seluruh antologi penting dalam sastra Indonesia, misalnya Gema Tanah Air (H.B. Jassin), Laut Biru Langit Biru (Ajip Rosidi), dan HIS, sebagai sebuah perbandingan.

Bisa juga antologi khusus puisi seperti Tonggak (Linus Surjadi AG), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ); juga antologi besar Satyagraha Hoerip, Cerpen Indonesia Mutakhir. Pun antologi sebuah angkatan, misalnya Sastra Indonesia di Masa Jepang serta Angkatan 66 (H.B. Jassin), serta Angkatan 2000 (Korrie Layun Rampan).

Dari perspektif semacam itu, membicarakan HSI menjadi menarik dan banyak gunanya buat pembaca. Dengan itu pula bisa dilihat apakah HSI merupakan antologi dengan kriterium Sekolah Menengah seperti ditengarai oleh A. Rivai (Media Indonesia). Jika ya, bagaimana dengan Horison Sastra Pelajar yang berisi karya-karya pelajar SMU kita yang ternyata dahsyat-dahsyat itu? Dalam perspektif itu pula dapat dinilai secara obyektif kualitas HSI dibandingkan dengan Gema Tanah Air dan/atau Laut Biru Langit Biru, dilihat dari materi sastrawan yang disertakan maupun kualitas karya sastra yang terdapat di dalamnya. Hasil analisis kritis semacam itu, jika perlu menggunakan langkah-langkah ilmiah yang disarankan oleh Sinansari ecip, niscaya akan memberi publik sastra Indonesia pengetahuan dan pengayaan yang berarti. Itu juga akan berguna bagi perbaikan HSI serta antolog-antologi lain yang telah terbit di Indonesia. Dan, ini bisa memperkaya mereka yang berminat untuk menyusun antologi, baik disusun oleh sastrawan maupun oleh kritikus. Karena saya termasuk kaum yang tidak gemar melarang dan mengharuskan, seperti “antologi harus disusun kritikus, tidak boleh oleh sastrawan; karya sastra harus dibuat oleh sastrawan, tidak boleh oleh kritikus”.

Sebagaimana para sastrawan Indonesia (Linus, Ajip, Satyagraha, Taufiq Cs.) boleh membuat antologi, kritikus seperti Tommy F. Awuy pun boleh membuat kumpulan cerpen. Tinggal semuanya dinilai secara obyektif berdasar kualitasnya. Bahkan mereka yang bukan sastrawan dan bukan kritikus seperti Beni R. Budiman, misalnya, bisa saja membuat antologi. Saya doakan hasilnya semoga bagus. Selamat mencoba!

*) Cerpenis, Anggota Tim Editor Horison Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar